Monday, October 22, 2018

Kajian Kitab Sirah : Belajar Loyal dan Sabar Abu Ayyub Al- Anshari Radiyall’anhu


Resume Kajian KMS
Tema :  Kajian Kitab Sirah
             Belajar Loyal dan Sabar Abu Ayyub Al- Anshari Radiyall’anhu
Narasumber : Ustadz Agung Waspodo, MPP

Sudahkah kita mencintai Rasulullah ?  Bahkan sudahkah kita meneladani perilaku para sahabat dalam menunjukkan kecintaannya kepada Rasulullah ?
Kajian KMS BSD Oktober ini menghadirkan ustadz Agung waspodo, Seorang pemerhati sirah dan sejarah, serta Dosen Universitas Negeri Jakarta.  Berikut materi yang diberikan oleh Ustadz Agung.

Penjamu Paling Awal di Madinah

Ketika Rasulullah memasuki kota Madinah, unta yang beliau tunggangi bersimpuh di depan rumah Bani Malik bin Najjar. Maka beliau pun turun dari atasnya dengan penuh harapan dan kegembiraan.
Siapakah orang beruntung yang dipilih sebagai tempat persinggahan Rasulullah dalam hijrahnya ke Madinah ini, di saat semua penduduk mengharapkan Nabi mampir dan singgah di rumah-rumah mereka? Dialah Abu Ayub Al-Anshari Khalid bin Zaid.
Pertemuan ini bukanlah yang pertama kalinya. Sebelumnya, sewaktu utusan Madinah pergi ke Makkah untuk berbaiat dalam baiat Aqabah Kedua, Abu Ayub Al-Anshari termasuk di antara 70 orang Mukmin yang mengulurkan tangan kanan mereka ke tangan kanan Rasulullah serta menjabatnya dengan kuat, berjanji setia dan siap menjadi pembela.
Dan kini, ketika Rasulullah bermukim di Madinah dan menjadikan kota itu sebagai pusat agama Allah, maka nasib mujur yang sebesar-besarnya telah terlimpahkan kepada Abu Ayub, karena rumahnya dijadikan tempat pertama yang didiami Rasulullah. Beliau akan tinggal di rumah itu hingga selesainya pembangunan masjid dan bilik beliau di sampingnya. Rasulullah tinggal selama 7 bulan di rumah Abu Ayub.

Mendahulukan orang lain
Abdullah bin Abbas menceritakan suatu hari Abu Bakar keluar di siang hari. Saat matahari sedang panas-panasnya. Umar melihat Abu Bakar, kemudian ia bertanya, “Apa yang menyebabkanmu keluar di jam-jam seperti ini Abu Bakar?” “Tidak ada alasan lain yang membuatku keluar (rumah), kecuali aku merasa sangat lapar”, jawab Abu Bakar. Umar menanggapi, “Aku pun demikian -demi Allah- tidak ada alasan lain yang membuatku keluar kecuali itu.”

Saat keduanya dalam keadaan demikian Rasulullah keluar dan menghampiri keduanya. Beliau bersabda, “Apa yang menyebabkan kalian keluar pada waktu seperti ini?” Keduanya mengatakan, “Tidak ada yang menyebabkan kami keluar kecuali apa yang kami rasakan di perut kami. Kami merasa sangat lapar.” Kemudian Rasulullah bersabda, “Aku juga -demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya- tidak ada hal lain yang membuatku keluar kecuali itu. Ayo berangkat bersamaku.”

Ketiganya pun beranjak. Mereka menuju rumah Abu Ayyub al-Anshari

Setiap hari, Abu Ayyub senantiasa menyediakan makanan untuk Rasulullah. Jika istri-istri beliau tidak punya sesuatu untuk dimakan, beliau biasa ke rumah Abu Ayyub. Ketika ketiganya sampai di rumah Abu Ayyub, istri Abu Ayyub, Ummu Ayyub, mengatakan, “Selamat datang Nabi Allah dan orang-orang yang bersama Anda”. Rasulullah bertanya, “Dimana Abu Ayyub?” Abu Ayyub yang sedang bekerja di kebun kurma mendengar suara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia bersegera menuju rumahnya dan mengatakan, “Marhaban untuk Rasulullah dan orang-orang yang bersamanya.

Abu Ayyub berkata, “Wahai Rasulullah, waktu ini bukanlah waktu kebiasaan Anda datang ke sini.” “Benar,” jawab Rasulullah.

Abu Ayyub segera memetikkan beberapa tangkai kurma kering, kurma basah, dan kurma muda. Kemudian menawarkannya kepada Rasulullah, “Rasulullah, makanlah ini. Aku juga akan menyembelihkan hewan untukmu,” kata Abu Ayyub. “Kalau engkau mau menyembelih, jangan sembelih yang memiliki susu,” kata Rasulullah.

Abu Ayyub kemudian menghidangkan masakannya. Rasulullah mengambil sepotong daging dan meletakkannya pada roti. Kemudian beliau meminta Abu Ayyub, “Wahai Abu Ayyub, tolong antarkan ini untuk Fatimah karena telah lama ia tidak makan yang seperti ini.”

Setelah kenyang, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Roti, daging, kurma kering, kurma basah, dan kurma muda.” Beliau menitikkan air mata. Kemudian bersabda, “Demi Dzat yang jiwaku di tangan-Nya. Ini adalah kenikmatan, yang nanti akan ditanyakan di hari kiamat.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dikenal sebagai orang yang senantiasa membalas kebaikan orang lain. Usai menyantap jamuan itu, Rasulullah berkata kepada Abu Ayyub, “Temuilah aku besok.” Keesokan harinya, beliau memberikan seorang anak perempuan untuk membantu-bantu di rumah Abu Ayyub. “Berbuat baiklah engkau padanya,” pesan Rasulullah kepada Abu Ayyub.

Abu Ayyub kembali ke rumahnya. Menemui istrinya dengan membawa budak perempuan itu. “Anak perempuan ini diberikan Rasulullah untuk kita. Beliau mewasiatkan agar kita berbuat baik dan memuliakannya.” Istrinya bertanya, “Kebaikan apa yang akan kau lakukan untuk menunaikan wasiat Rasulullah itu?” “Yang paling utama adalah membebaskannya dengan mengharapkan pahala dari Allah”, kata Abu Ayyub.

Mujahid Perang

Abu Ayyub al-Anshari adalah seorang mujahid di jalan Allah. Dikatakan, tidak ada satu perang pun di zaman Rasulullah yang tidak ia ikuti. Setelah Rasulullah wafat, ia tetaplah seorang mujahid. Perang terakhir yang ia ikuti adalah di zaman Kekhalifahan Muawiyah bin Abi Sufyan. Yaitu saat Muawiyah menyiapkan pasukan di bawah pimpinan anaknya, Yazid, untuk menyerang Konstantinopel. Saat itu umur Abu Ayyub mencapai 80 tahun. Perang tersebut menjadi perang terakhirnya. Dan ia dimakamkan di sana.

Konstantinopel

Demikianlah, ketika diketahuinya balatentara Islam tengah bergerak ke arah Konstantinopel, ia segera memegang kuda dan membawa pedangnya, memburu syahid yang sejak lama ia dambakan.
Dalam pertempuran inilah ia menderita luka berat. Ketika komandannya datang menjenguk, nafasnya tengah berlomba dengan keinginannya menghadap Ilahi. Maka bertanyalah panglima pasukan waktu itu, Yazid bin Muawiyah, "Apakah keinginan anda wahai Abu Ayub?"
Abu Ayub meminta kepada Yazid, bila ia telah meninggal agar jasadnya dibawa dengan kudanya sejauh jarak yang dapat ditempuh ke arah musuh, dan di sanalah ia akan dikebumikan. Kemudian hendaklah Yazid berangkat dengan balatentaranya sepanjang jalan itu, sehingga terdengar olehnya bunyi telapak kuda Muslimin di atas kuburnya, dan diketahuinya bahwa mereka telah berhasil mencapai kemenangan.
Dan sungguh, wasiat Abu Ayub itu telah dilaksanakan oleh Yazid. Di jantung kota Konstantinopel yang sekarang yang sekarang bernama Istanbul, di sanalah terdapat pekuburan laki-laki besar.
Hingga sebelum tempat itu dikuasai orang-orang Islam, orang Romawi dan penduduk Konstantinopel memandang Abu Ayub di makamnya itu sebagai orang suci. Dan yang mencengangkan, para ahli sejarah yang mencatat peristiwa-peristiwa itu berkata, "Orang-orang Romawi sering berkunjung dan berziarah ke kuburnya dan meminta hujan dengan perantaraannya, bila mereka mengalami kekeringan."
Jasad Abu Ayub Al-Anshari masih terkubur di sana, namun ringkikan kuda dan gemerincing pedang tak terdengar lagi. Waktu telah berlalu, dan kapal telah berlabuh di tempat tujuan. Abu Ayub telah menghadap Ilahi di tempat yang ia dambakan.

Hikmah
Ada beberapa hikmah paling tidak dapat kita teladani dari Abu Ayub  ;

1   1. Kita harus kembali bertanya ke diri kita sendiri ,sudah seberapa murah hatikah kita ?
Apakah kita siap untuk memberikan hal keduniawian yang kita punya untuk kepentingan agama atau saudara seiman kita atau lebih luasnya kepada manusia lain ? 

2. Sudah sejauh mana kita menghargai orang lain ? Tanpa memikirkan segala predikat yang dibawa orang lain tersebut, hanya mengharap ridho Allah Subhanahu wata’ala.

3.  Kita harus cermati keterkaitan  hadits berikut yang sangat berkaitan dengan kisah sahabat Abu Ayub.  Adanya keterkaitan dan anjuran berkata baik ,memuliakan tetanggan dan memuliakan tamunya.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah bersabda : “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia berkata baik atau diam, barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia memuliakan tetangga dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia memuliakan tamunya”.

[Bukhari no. 6018, Muslim no. 47]

Referensi :


.- Ustadz Agung Waspodo



No comments:

Post a Comment