Bila menilik kata cireng,
secara epistomologis cireng berasal dari dua kata Aci dan Goreng ya memang
kurang lebihnya ini adalah produk sagu yang dibumbui kemudian digoreng. Agak
ambigu juga dengan kata ini, karena bila merujuk ke daerah asal penganan ini
yaitu Jawa barat maka kata Goreng yang juga berarti jelek atau buruk tentu
membuat penganan ini berkonotasi negatif senada dengan sebagian besar orang
yang menilai bandung adalah kota wisata “ituan”.
Terlepas dari “ituan”, eh
kok maksud saya dari arti bahasa. Cireng cukuplah populer di ibukota Jakarta
sampai Tangsel sini, dengan merajalelanya tukang gorengan (menjual berbagai
penganan kecil bertepung yang digoreng-red) yang setiap hari memikat secara
visual dengan tampilan kaca gerobak gorengannya. Dan gorengan layak ditasbihkan
sebagai makanan setiap waktu di Indonesia tercinta ini, pagi, siang hingga
malam tak lepasnya kita ini dari gorengan.
Kembali ke CiNang, seorang
teman STM kami…okelah sebut inisialnya Ganang J menawarkan produk terkini, fantastik dengan
keluaran mesin terbaru bernama … Cireng. Hahaha…lebay sekali ya pengantarnya,
tapi yang menarik adalah bagaimana Cireng ini bisa membuat atau membantu
sosialisasi antara manusia.
Kalo Abraham Maslow dalam
piramida kebutuhan menetapkan bahwa kebutuhan sosialiasi manusia ada di
peringkat ketiga diatas kebutuhan manusia untuk mengaktualisasi dirinya. Maka
kisah Mahabrata yang termahsyur itu pun menceritakan bahwa sosialisasi adalah
cara para pandawa menyiapkan diri mereka secara jiwa dan raga untuk siap dalam
perang Bharatayudha (Episode Pandawa kalah sayembara dan menyamar menjadi warga
biasa – red). Nah Cireng ini dengan saktinya mampu juga menjadi media manusia
untuk bersosialisasi lebih lanjut dengan teman-teman masa lalunya.
Oke, digampangkan
pembahasannya. Sistem order Cireng ini bisa menjadi salah satu sarana
sosialisasi dengan teman-teman angkatan enam yang memang sudah sulit untuk
bertemu bila tidak dengan alasan “kerja”. Maafkan saya untuk tanda kutipnya,
tapi memang di dunia yang tentu lebih besar dari daun kelor ini kebanyakan
interaksi dengan teman-teman angkatan hanya karena terkait pekerjaan.
Dan si Cireng ini
memampukan beberapa manusia untuk menghindarkan batasan kebutuhan kerja dan
aktivitas menjadi kebutuhan jual-beli, produsen-konsumen dalam bahasa lain. Kalau
kita, okelah sebutlah saya membeli Cireng langsung di tukang gorengan…maka ya
sudah setelah beli, gigit,telan dan sampai di usus besar selesailah proses ini.
Atau menggunakan perbandingan yang sama saya pesan di kaskus atau toko bagus
Cireng, maka setelah abang-abang Tiki JNE datang proses berikutnya adalah
menunggu dengan manis istri tercantik menggoreng kemudian menyantap, telan,
gigit dan sampai ke usus besar.
Cerita cireng yang ini
masih terkait sama penjual alias produsennya yaitu kang mase Ganang yang sudah
terkenal seantero jagat persilatan dengan kapak naga geni 212 nya….loh kok bias
gini.
Cireng memampukan pertemuan
dua orang yang atas dasar penjual dan pembeli kemudian beralih menjadi penjual
mendapat orderan lain selain cirengnya tadi. Lohh kok bisa, ya pasti ada korelasinya
bilamana ada projek lain yang diberikan kepada juragan cireng karena beliaunya
ini punya PT Palu Gada (Apa lu punya projek gua siap sedia).
Sekarang soal produk, ini
produk cireng oke punya. Sehabis digoreng, renyahnya berasa banget dan juga
sambel rujaknya yang memang pas ketemu jodohnya kaya bang ben ma neng ida
royani. Mungkin yang diperlukan adalah SPG yang cantik macam Jessica Alba yang
mau anter ke rumah atau sediain tester yang dah digoreng di pojok kantin..hehe.
Maka bolehlah sedikit
bermuluk-muluk kalau kangmase ganang bisa tetap mempertahankan kualitas
produknya. Kalo boleh meminjam bukunya Porter yang memuat Diferensiasi Produk,
bahwa kalo produsen yang udah keren banget tuh brandnya udah terindentifikasi
dan tertanam jelas di pelanggannya. Ya kalo yang dah kaya gini dah pasti
loyalis banget tuh si pelanggan.
Ya…lebih kurangnya ini cuma
tulisan saya buat forum STM Angkatan Enam yang selalu saya cintai…Keep Spirit
Up Brother.